Languages فارسی فارسى درى English اردو Azəri Bahasa Indonesia پښتو français ไทย Türkçe Hausa Kurdî Kiswahili Deutsche РУС Fulfulde Mandingue
Scroll down
Berita Dunia

Antoine Bara: Karbala Dan Imam Husein As Bukan Hanya Milik Muslim Syiah!

2019/10/22

Antoine Bara: Karbala Dan Imam Husein As Bukan Hanya Milik Muslim Syiah!

Dia adalah Antoine Bara, seorang cendikiawan, pemikir, dan tokoh terkemuka Kristen. Bukunya berjudul ‘Imam Hussein in Christian Ideology’ telah menuai kontroversi luas. Pasalnya, sang penulis berpendapat bahwa Jesus (Nabi Isa as) telah memberitahukan munculnya Imam Husein as.

Bara menyatakan bahwa Imam Hussein as tidak khusus untuk Syiah atau Muslim saja, tetapi milik seluruh dunia karena menurutnya beliau adalah “hati nurani agama”. Bara juga tidak pernah menyebut nama Imam Husein tanpa alaihissalam (peace be upon him). Bara mengklaim dirinya sebagai Syiah dan menilai menjadi Syiah adalah “tingkat cinta tertinggi kepada Allah Swt.” Menurutnya semua orang dapat menjadi Syiah meskipun agamanya berbeda, tergantung pada interpretasinya.

Tahun 2008 dia diwawancarai oleh situs Tebyan berkenaan dengan buku kontroversialnya itu.

Menjelaskan kisah di balik penulisan buku Imam Hussein in Christian Ideology Bara mengatakan: “Pada awalnya, saya tidak tahu tentang insiden brutal di Karbala, kecuali garis-garis besarnya saja bahwa Imam Husein as bangkit melawan Yazid dan terbunuhnya beliau di Karbala. Ini karena selama pendidikan kami, insiden ini hanya disinggung tanpa menyebutkan detail. Ketika saya bertemu dengan Imam al-Shirazi di Kuwait, lebih dari 40 tahun lalu, dia memberi saja beberapa buku tentang Imam Husein as. Saya membaca buku-buku tersebut dan saya mengungkap bahwa buku-buku itu menyimpan kisah unik heroik.”

“Saya juga terkejut bahwa kisah ini tidak mengundang perhatian para cendikiawan Muslim. Seorang Muslim non-Syiah berbicara tentang kejadian tersebut seolah hanya sebuah peristiwa sejarah biasa. Ini disebabkan karena pandangan yang berlaku dalam masyarakat tempat dia hidup tidak mengijinkannya untuk melawan lingkungan dan budaya yang ada. Di sisi lain, peristiwa ini (Karbala) memiliki sisi afeksi yang sangat penting bagi Muslim Syiah.”

“Adapun para orientalis, tulisan-tulisan mereka hanya mempersembahkan pandangan-pandangan materialistik saja dan mengesampingkan dimensi spiritual dan sosial dari revolusi tersebut. Ini semua memotivasi saya untuk mencatat pendapat tentang revolusi ini dan tentang sosok Imam Husein as.”

“Pandangan saya mungkin yang paling netral dan obyektif dibanding berbagai pertimbangan agama dan emosional. Saya seorang penulis Kristen dan peneliti yang tinggal di negara Muslim serta mengenal budaya Muslim dari sumber yang sama yang membuat identitas sosial dan kultural saya menjadi seperti Muslim meski saya adalah Kristen. Ini yang menyempurnakan kesadaran dan pemahaman saya tentang Imam Husein as. Yang jelas, saya tidak punya kepentingan apapun untuk menulis topik ini.”

Dalam sebuah percakapan, saya mengatakan bahwa menyusul kebiasaan jurnalistik saya, sudah banyak catatan saya tentang Imam Husein as. Seorang ulama Syiah berkata kepada saya, “mengapa kau tidak mengumpulkan catatan-catatan tersebut dalam sebuah buku?” “saya akan mempertimbangkannya,” jawab saya.”

“Ide itu mengendap di otak saya, lalu saya pergi ke kantor saya dan mengumpulkan catatan yang telah saya tulis, yang sekarang tampak sangat banyak dan saya memulai melakukan penelitian lebih mendalam. Seperti yang Anda ketahui, ketika seorang peneliti memulai meneliti, maka dia tidak akan merasa selesai. Ketika saya semakin dalam, penelitian semakin sulit dan saya menemukan diri saya terjebak di medan ranjau sensitivitas. Anda mengadopsi sebuah opini yang akan menyenangkan sebagian kelompok akan tetapi tidak untuk sebagian lain, fakta ini saja bahwa sebagai seorang Kristen seharusnya saya melepaskan penelitian seperti ini yang sepenuhnya adalah milik Muslim.”

“Meski demikian, saya tetap melanjutkan penelitian saya seperti yang saya pikir bahwa kami, sebagai Kristen, harus memiliki pandangan yang imbang ketimbang Muslim, berkaitan dengan Imam Husein as. Saya tidak menyimpan rahasia bahwa selama proses penulisan, saya merasa adalah inspirasi moral spesial yang mendorong saya untuk terus meneliti, mengedit, dan menulis, sesulit apapun itu berdasarkan berbagai macam pertimbangan. Saya berusaha meliput semua aspek melalui banyak penjelasan dan analisa dari berbagai sisi dan dimensi.”

Saya juga mencoba menjawab berbagai pertanyaan yang berkaitan dengan revolusi dan sosok Imam Husein as: mengapa pertempuran ini terjadi dan apakah untuk tujuan duniawi? Mengapa Imam Husein as mencari kesyahidan? Apa rahasia di balik ucapan dan seruan beliau? Mengapa dia membawa serta perempuan adan anak-anak bersamanya? Ini memperpajang masa penulisan sampai lebih dari lima tahun, dua tahun di antaranya sepenuhnya untuk proses penulisan. Meski kala itu saya belum menikah, penulisan buku tersebut memakan waktu sedemikian lama. Buat saya ini sangat lama karena tidak ada karya lain saya yang memakan waktu lebih dari dua tahun untuk merampungkannya.

“Segera setelah saya merampungkan buku itu, yang sudah saya ubah dan revisi kembali, saya menghubungi Baqir Khureibit, editor majalah Sawt al-Khaleej, tempat saya bekerja, dan dia setuju untuk mencetak buku itu; dengan demikian buku tersebut dicetak.”

Berbicara reaksi dan tanggapan setelah pencetakan bukunya itu, Bara mengatakan, “Tentu ini menuai berbagai reaksi; lebih dari yang Anda dapat bayangkan. Benar bahwa Syiah khususnya dan umat Muslim secara umum menerima buku itu dan saya tahu banyak orang yang mempertimbangkannya sebagai buku terbaik yang pernah ditulis tentang Imam Husein as, akan tetapi sebagian Muslim dan Kristen menolaknya.”

“Sebagai contoh mereka mengatakan, ‘dia adalah seorang Kristen, bagaimana dia bisa menjadi seorang pendukung keluarga Nabi Muhammad Saw?’ Saya ingat ada seorang di Beirut yang mencetak buku untuk menjawab buku saya. Namun sandaran buku tersebut sangat lemah dan dangkal. Sang penulis berusaha membuktikan bahwa masalah Imam Husein as hanya sebuah insiden sejarah yang berkaitan dengan perebutan kekuasaan. Di sisi lain, adalah sebuah thesis doktoral yang ditulis tentang buku saya dan diajukan ke salah satu universitas di Lebanon. Ada juga seseorang dari Universitas Lahore Pakistan bernama Mushtaq Assad, meminta ijin dari saya untuk menerjemahkan buku itu ke bahasa Urdu. Saya langsung menyetujuinya. Dia terkejut karena saya tidak meminta bagian keuntungan. Saya berkata “saya tidak menulis buku itu demi profit, melainkan karena keyakinan saya kepada Imam Husein as.”

“Juga seorang doktor keturunan Irak bernama Ridha Rasheed, yang datang dari Austria meminta ijin menerjemahkan buku itu ke bahasa Austria dan Rusia. Saya juga menyetujuinya. Syukur kepada Tuhan, buku itu telah diterjemahkan ke 17 bahasa dunia. Ini semua berkat kebesaran Imam Husein as.”

Sepuluh tahun setelah publikasi buku tersebut, saya terkejut dipanggil ke Kuwait, tempat saya dulu bekerja, untuk diinvestigasi. Saya dituding telah menentang Khalifah Muslim. Ketika hadir di pengadilan, saya mengetahui bahwa gugatan itu diajukan oleh pemerintah Kuwait. Mereka keberatan pada bagian dalam buku itu yang menilai pemerintahan Khalifah Utsman bin Afan yang memberi kesempatan kepada Bani Umayyah berkuasa. Saya membela diri dengan menjelaskan bahwa saya mengutipnya dari buku-buku Muslim. Saya juga menyebutkan nama buku-buku tersebut yang banyak beredar dan dapat dijangkau di perpustakaan publik.”

“Kepada hakim saya berkata, ‘anda melupakan 499 halaman yang memuji tokoh Islam mulai dari Nabi Muhammad Saw, Ali as, Fatimah sa, Hasan dan Husein as, serta hanya mengandalkan satu halaman yang Anda mengklaimnya menentang Utsman!’ Singkat kata, hakim mendenda saya 50 dinar Kuwait serta menyita dan melarang buku yang telah dicetak lebih dari tiga kali dalam katalog elektronik pada pameran buku, dan seperti yang Anda tahu, buku tersebut telah dibaca luas sebelum pelarangannya.”

Ketika Antoine Bara ditanya apakah penulisan buku tersebut merupakan sebuah interpretasi keinginan khusus yang dimilikinya atau murni riset, dia mengatakan, “Kedua-duanya. Pada awalnya, menulis buku bertujuan ilmiah akan tetapi ketika saya semakin menyelam lebih dalam dan lebih luas tentang topik sejarah ini, tumbuh sebuah perasaan kebesaran Imam Husein as pada diri saya. Manusia ini telah mengorbankan dirinya untuk agama, prinsip-prinsip, dan menyelamatkan Muslim dari penyimpangan dari jalan Islam guna memastikan berlanjutnya pesan dan penyampaiannya dari satu generasi ke generasi lain.”

“Jika dia [Imam Husein as] tidak mengorbankan dirinya pada dimensi emosional tingkat tinggi itu, maka pengaruh dari pemeliharaan agama Islam, tidak sebesar yang dirasakan masyarakat saat ini. Buktinya adalah apa yang terjadi ketika para tahanan perang kembali ke Damaskus; orang-orang Sunni, Syiah, dan Kristen melempari serdadu [Yazid] dengan batu karena mereka semua merasa terpengaruh [atas peristiwa Karbala]. Peristiwa yang sama juga terjadi di Homs ketika masyarakat memukuli para serdadu dan tidak memberi mereka air, karena mereka telah mengharamkan air untuk keluarga Nabi Muhammad Saw.”

“Pada hakikatnya, prinsip-prinsip kemanusiaan dibangkitkan dalam revolusi Asyura. Ini yang mendorong saya terus untuk menulis buku yang telah melelahkan dan menimbulkan masalah buat saya, tanpa ada keuntungan pribadi lain bagi saya kecuali berkah dari Imam Husein as. Berkah yang saya maksud di sini adalah fakta bahwa buku tersebut telah diceak lebih dari 20 kali, tiga di antaranya oleh saya. Banyak pihak yang telah mencetak buku tersebut tanpa ijin akan tetapi saya tidak mempermasalahkannya, karena saya tidak menilai buku itu sebagai milik pribadi, sebaliknya buku itu adalah milik seluruh umat manusia sama seperti Imam Husein as adalah milik seluruh umat manusia.”

Sumber: AhlulBait Indonesia.or.id