110 Masalah Akidah: Perbedaan Antara Kenabian, Imamah Dan Kerasulan
Berdasarkan arahan-arahan Alquran dan beberapa hadis yang menjelaskan orang-orang yang ditugaskan oleh Allah Swt., mereka memiliki kedudukan yang berbeda-beda:
a. Kedudukan Kenabian (Nubuwah)
Kedudukan kenabian adalah sebuah kedudukan penerimaan wahyu dari Allah Swt. Oleh karena itu, nabi adalah orang yang mendapatkan wahyu dan menyampaikannya kepada orang-orang yang menghendakinya.
b. Kedudukan Kerasulan (Risâlah)
Kedudukan kerasulan adalah kedudukan yang mengemban tugas penyampaian wahyu, penyebaran hukum-hukum Tuhan, dan pembinaan jiwa-jiwa manusia melalui pengajaran ilmu dan menyucian diri. Oleh karena itu, rasul adalah orang yang bertugas untuk mengajak manusia kepada Tuhan dengan segenap upaya serta memanfaatkan segala fasilitas yang ada. Ia berusaha untuk mengusung sebuah revolusi budaya, pemikiran dan ideologi.
c. Kedudukan Kepemimpinan (Imâmah)
Imâmah adalah kepemimpinan umat. Sejatinya, imam adalah seorang yang -dengan membentuk sebuah pemerintahan Ilahi dan memperoleh kekuasaan yang diperlukan- berupaya untuk menerapkan hukum-hukum Tuhan di muka bumi. Dan sekiranya tidak mampu secara resmi mendirikan pemerintahan, ia tetap harus berupaya semaksimal kemampuan yang dimilikinya.
Dengan kata lain, tugas-tugas imam adalah menjalankan ketentuan Ilahi, sementara tugas-tugas rasul adalah menyampaikan ketentuan-ketentuan ini. Atau, rasul “menunjukkan jalan”, dan imam “mengantarkan sampai ke tujuan”.
Jelas bahwa kebanyakan para nabi, seperti Nabi SAW memiliki ketiga kedudukan di atas. Nabi SAW di samping memperoleh wahyu dan menyampaikannya, juga bertugas dan berupaya membentuk sebuah pemerintahan dalam rangka penerapan hukum-hukum Ilahi, dan menggelontorkanya melalui jalan batin dalam pembinaan jiwa.
Singkatnya, imâmah merupakan kepemimpinan yang berdimensi bendawi dan maknawi, jasmani dan ruhani, lahir dan batin. Imam adalah kepala pemerintahan dan pemimpin masyarakat, pemimpin agama, pembina akhlak, pemimpin lahir dan batin. Dari satu sisi, imam memimpin orang-orang yang memiliki kelayakan menempuh jalan kesempurnaan dengan kekuatan spiritual. Dengan kekuatannya, ia mengajarkan orang-orang yang buta aksara dan dengan kekuasaan pemerintahannya atau kekuatan hukum lainnya, ia menerapkan asas keadilan.
Bagaimana Mungkin Kenabian dan Imâmah Diperoleh pada Usia Belia?
Di dalam surat Maryam, ayat 12 kita membaca, “Hai Yahya, ambillah al-Kitab [Taurat itu] dengan sungguh-sungguh. Dan Kami berikan kepadanya hikmah selagi ia masih kanak-kanak.”
Berangkat dari ayat ini, soal yang kemudian mengemuka adalah bagaimana mungkin seorang manusia pada masa kecilnya telah mencapai kedudukan kenabian dan kerasulan?
Benar bahwa masa berseminya akal manusia biasanya memiliki batasan dan ukuran khusus. Akan tetapi, kita ketahui bahwa pada segenap manusia, terdapat orang-orang yang memiliki keistimewaan. Apa halangan bagi Allah Swt -dengan alasan maslahat- menyingkat waktu sebagian hamba-hamba-Nya? Biasanya seseorang memerlukan waktu satu atau dua tahun untuk dapat berbicara. Sementara kita ketahui bahwa Nabi Isa as telah dapat berbicara pada hari pertama kelahirannya ke dunia, itu pun dengan ucapan yang sarat makna yang -menurut kebiasaan umum- sebobot ucapan orang-orang dewasa.
Dari sini akan menjadi jelas bagi sebagian orang yang mempermasalahkan para Imam Syi’ah, yakni mengapa sebagian para imam maksum mencapai kedudukan kepemimpinan (imâmah) pada usia yang masih belia?
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa salah seorang sahabat Imam Al-Jawad bin Ali An-Naqi as yang bernama Ali bin Asbath berkata, “Aku datang menghadap kepada Imam Al-Jawad (dan pada waktu itu beliau masih belia). Aku tegap berdiri di hadapannya dan memandangnya dengan seksama sehingga aku dapat mencamkan dalam benakku untuk ku ceritakan segala apa yang telah terjadi kepada para sahabat sewaktu aku kembali ke Mesir (bahwa Imam al-Jawad as masih belia).
Pada saat aku berpikiran demikian, Imam Al-Jawad duduk (seakan-akan beliau dapat membaca seluruh pikiranku). Pandangannya mengarah kepadaku seraya berkata, ‘Wahai Ali bin Asbath! Apa yang telah dilakukan oleh Allah Swt mengenai imâmah persis dengan apa yang telah dilakukan oleh-Nya mengenai kenabian.
Kadang-kadang Ia berfirman, ‘… Kami berikan kepada Yahya ….’ dan kadang pula Dia berfirman tentang manusia, ‘… Tatkala manusia mencapai usia empat puluh tahun (masa baligh sempurna)….’ Oleh karena itu, sebagaimana Allah Swt mampu memberikan “hikmah” kepada manusia pada masa belianya, demikian juga Ia mampu untuk memberikan “hikmah” kepada manusia pada usia empat puluh tahun.\'”
Sementara itu, ayat ini juga merupakan jawaban tegas bagi para pengkritik yang berpendapat bahwa Ali bukanlah pria pertama yang beriman kepada Rasulullah SAW lantaran ketika itu ia adalah seorang bocah kecil yang berusia sepuluh tahun, dan iman bocah sepuluh tahunan tidak dapat diterima.
Poin ini juga layak disebutkan di sini. Dalam sebuah hadis dari Imam Ali bin Musa Ar-Ridha as kita membaca, “Sekelompok anak kecil datang kepada Nabi Yahya (yang masih kecil) seraya berkata, ‘Ayo kita main bersama!’ Yahya as menjawab: ‘Kita tidak diciptakan untuk bermain.’ Di sini Allah Swt berfirman, ‘… Dan Kami berikan kepadanya hikmah selagi ia masih kanak-kanak.\'”
Tentu saja, maksud dari bermain di sini adalah menghabiskan waktu senggang tanpa alasan dan manfaat. Dengan ungkapan lain, sebuah kekonyolan. Karena, terkadang permainan digunakan untuk mencapai sebuah tujuan logis dan rasional. Sangat jelas bahwa permainan seperti ini termasuk pengecualian dalam masalah ini.
Menjawab 110 Masalah Akidah, Ayatullah al-Uzhma Makarim Syirazi
Sumber: AhlulBait Indonesia.id