Imam Ali as, Wasiat Rasulullah Saw di Ghadir Khum
Sore jelang ashar, 18 Zulhijjah, 10 Hijriyah, rombongan besar yang pulang dari ibadah haji itu berhenti di sebuah tempat bernama Ghadir Khum. Rasulullah saw yang ada dalam rombongan itu kemudian mendirikan salat ashar dan diikuti sebagai makmum oleh rombongan yang berjumlah seratusan ribu hadirin itu.
Usai salat, Rasulullah saw berjalan menuju ke tengah kerumunan, seolah ada sesuatu yang penting ingin disampaikan. Serentak semua mata terpusat pada beliau saw. Semua orang terdiam sambil menunggu apa yang akan disampaikan Rasulullah saw kali ini.
Setelah dirasa mendapat perhatian dari seluruh yang hadir, Rasulullah saw mulai berbicara, menyampaikan sabda-sabdanya dengan nada tinggi, jelas, dan tegas. Jadinya, semua orang dapat melihat dan mendengar apa yang beliau saw sampaikan, atau setidaknya memahami apa yang terjadi.
“Wahai manusia, aku akan segera memenuhi panggilan Tuhan-ku dan pergi dari tengah-tengah kalian. Aku akan dimintai pertanggungjawaban sebagaimana akan kalian jalani. Apakah kalian tidak bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah yang Maha Esa? Apakah kalian tidak bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya? Apakah surga, neraka, dan mati itu tidak akan terjadi? Apakah tidak benar bahwa Hari Pembalasan dan Kebangkitan Kembali benar-benar akan tiba, dan Tuhan akan mengembalikan kehidupan orang-orang yang telah dikubur di dalam tanah?”
Seluruh hadirin yang berada di tempat itu serentak menjawab, “Sungguh kami bersaksi atas semua itu!”
Beliau saw menlanjutkan, “Sekarang Hari Pembalasan telah menunggu di hadapan kita dan kalian percaya tentang akan dibangkitkannya orang-orang yang sudah mati pada Hari Kebangkitan, dan bahwasanya pada hari itu kalian memperlakukan dua beban (tsaqalain) dan warisan paling mulia yang aku tinggalkan untuk kalian ketika aku bertolak menuju akhirat.”
“Wahai manusia, jangan kalian lupakan dua warisan ini. Selama kalian berpegang teguh pada keduanya, kalian tidak akan tersesat: Kitabullah dan Keluargaku.”
Rasulullah saw berhenti sejak, lalu memanggil Ali bin Abi Thalib as untuk berdiri di sampingnya. Beliau lalu memengang tangan Imam Ali as erat-erat dan mengangkatnya tinggi-tinggi, seperti seorang wasit yang mengangkat tangan sang juara pada pertandingan tinju.
Sambil terus mengangkat tangan Imam Ali as, Rasulullah saw menyampaikan seluruh kualitas dan sifat-sifat yang dimiliki Imam Ali as kepada khalayak. Beliau saw kemudian berkata:
“Wahai Siapakah di antara orang-orang beriman itu yang lebih mulia?”
Mereka serentak menjawab, “Allah dan Rasul-Nya mengetahui yang lebih baik!”
Rasulullah saw melanjutkan: “Siapa pun yang menjadikan aku sebagai pemimpinnya, maka Ali adalah pemimpinnya!”
“Ya Allah, kasihanilah siapa saja yang mengasihi Ali, dan musuhilah siapa saja yang memusuhi Ali. Ya Allah, tolonglah siapa saja yang menolong Ali dan hinakanlah musuh-musuhnya. Ya Allah, jadikanlah ia poros kebenaran.”
Usai menyelesaikan apa yang harus disampaikan hari itu, Nabi saw berpesan kepada mereka yang hadir dan mendengar untuk menyampaikan apa yang telah disampaikannya kepada Muslim lainnya yang tidak hadir.
Lalu malaikat Jibril as turun dan menyampaikan ayat suci kepada Rasulullah saw:
Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam itu jadi agama bagimu. (QS. al-Maidah: 3)
Menurut al-Ya’qubi, “Ayat yang diturunkan di Ghadir Khum itu adalah ayat terakhir yang diturunkan kepada utusan Tuhan yang paling mulia, Muhammad saw.”
Tentu saja banyak hikmah yang dapat digali dari peristiwa dan khutbah Rasulullah saw di Ghadri Khum. Namun setidaknya kita dapat memahami dua poin yang sangat penting di antaranya. Pertama, pada hari itu Rasulullah saw mendeklarasikan Imam Ali as sebagai pemimpin bagi siapa saja yang menganggap Rasulullah saw sebagai pemimpinya. Dalam konteks ini, sabda Nabi saw bukanlah sebentuk perintah (amr) atau keharusan syariat; bahwa siapa saja yang menjadikan Rasul saw sebagai pemimpinnya, maka harus menjadikan Ali as sebagai pemimpinnya. Namun, sabda itu bersifat informatif, sehingga dapat dipahami bahwa hubungan antara kalimat pertama dan kedua bersifat niscaya. Ringkasnya, siapa saja yang menjadikan Nabiyul Karim saw sebagai pemimpinnya, “niscaya” akan menjadikan Imam Ali as sebagai pemimpinnya setelah wafatnya Rasul saw.
Kedua, penegasan tentang kesempurnaan agama dan diridhainya Islam sabagai agama bagi umat Islam oleh Allah Swt, seperti yang disampaikan dalam surah al-Maidah ayat ke-3 tadi. Banyak pakar tafsir berpendapat bahwa ayat suci itu menegaskan fakta bahwa kesempurnaan agama, dalam hal ini, Islam, terwujud berkat kepemimpinan Imam Ali as yang dideklarasikan Baginda Nabi saw di Ghadir Khum.
Fakta lain yang perlu kiranya dicatat adalah sekitar 70 hari paska peristiwa Ghadir Khum, Rasulullah saw wafat. Setiap orang yang wafat biasanya akan meninggalkan wasiat dan peristiwa Ghadir Khum tak lain dari salah satu wasiat agung dari Rasulullah saw bagi seluruh umat Islam di semua tempat dan di setiap zaman, bahwa siapa saja yang menjadikan beliau saw sebagai pemimpin, niscaya akan menjadikan Imam Ali as sebagai pemimpinnya, khususnya sepeninggal beliau saw.
Maka, berbahagialah mereka yang menjadikan Rasulullah saw sebagai pemimpinnya. Sebab, sepeninggal Rasul saw, mereka tak dibiarkan sendirian. Allah Swt dan Rasul-Nya telah menetapkan Imam Ali bin Abi Thalib as sebagai pemimpin mereka–sebagaimana disampaikan Rasulullah saw dalam momen Ghadir Khum.
Sumber: Ahlulbait Indonesia.id