Kemerdekaan Perempuan
Alkisah, seorang gadis datang menemui Nabi Muhammad saw dalam keadaan bingung dan risau. Gadis itu kemudian mengatakan, “Wahai utusan Allah… dari tangan ayah ini……”
“Tetapi apa yang telah dilakukan ayah Anda terhadap diri Anda?” tanya Rasulullah saw.
“Ayah punya kemenakan seorang lelaki, dan ayah menikahkan aku dengannya tanpa berkonsultasi terlebih dahulu padaku” jawab si gadis.
“Sekarang ayahmu sudah melakukannya, dan Anda tidak boleh menentangnya. Terimalah dan jadilah istri saudara sepupumu.”
“Wahai utusan Allah, tetapi aku tidak menyukai saudara sepupuku itu. Mana mungkin aku menjadi istri dari seorang lelaki yang tidak aku sukai.”
Kalau Anda memang tidak menyukainya selesaikanlah sudah masalahnya. Anda memiliki otoritas penuh. Pilihlah lelaki yang anda sukai untuk menjadi suami Anda”
“Kebetulan aku sangat menyukai saudara sepupuku. Dan aku tak mau orang lain” si gadis pada akhirnya mengakui. “Tapi karena ia melakukan hal ini tanpa minta persetujuanku maka aku sengaja menanyakan masalah ini untuk mendapatkan jawaban Anda dan mendengar langsung keputusan ini dari Anda. Dan Karena itu akan aku sampaikan kepada semua perempuan bahwa mulai sekarang para Ayah tidak berhak memutuskan sendiri dan menikahkan putri-putri mereka dengan orang-orang yang tidak mereka sukai.”
Para faqih besar seperti Syahid al-Tsani dalam masalik, dan penulis Jawahir al-Kalam meriwayatkan hadis ini melalui sanad non-Syiah. Di zaman Jahiliyah orang-orang Arab maupun non-Arab memandang para ayah memiliki otoritas penuh atas anak-anak perempuan mereka kakak-adik perempuan mereka dan dalam kasus-kasus tertentu bahkan ibu-ibu mereka. Dan dalam memilih suami bagi anak-anak perempuan mereka tidak percaya kalau perempuan-perempuan ini perlu mengambil keputusan sendiri dan menentukan pilihan sendiri. Otoritas dan fungsi tunggal ayah atau saudara lelaki atau jika tak ada ayah atau saudara lelaki maka paman mereka adalah yang menikahkan mereka dengan siapapun yang disukai ayah saudara lelaki atau paman.
Hak ini dipraktikkan sedemikian rupa sehingga para ayah menganggap memiliki hal ini berkenaan dengan seorang anak perempuan yang belum lahir dan ketika anak itu lahir dan besar lelaki yang menikah dengannya memiliki hak untuk mengambilnya untuk dirinya sendiri.
Nabi saw memberikan teladan yang agung ketika menikahkan putri-putrinya. Nabi tak meniadakan hak mereka untuk memilih pasangan. Saat Imam Ali as menghadap Nabi saw untuk melamar az-Zahra, Nabi saw berkata, “Beberapa orang sudah datang kepadaku hendak melamar az-Zahra as. Tetapi dikarenakan nampak rasa tidak suka di wajah az-Zahra, Azzahra menolak mereka. Sekarang aku akan beri tahu dia perihal permohonan Anda.”
Nabi saw menemui putrinya dan kemudian menyampaikan masalah ini kepadanya. Az-Zahra tidak memperlihatkan wajah menolak untuk kali ini. Dan dengan sikap diam dan perasaan tidak terusik az-Zahra mengungkapkan persetujuannya. Nabi saw kemudian meninggalkan zz-Zahra seraya mengucapkan takbir [Allahu Akbar, Allah Maha Besar].
Syahid Murthada Muthahhari
Sumber: ICC Jakarta.id