Syahid Muthahhari: Kematian Adalah Perluasan Kehidupan
Mendiskusikan ihwal fenomena kematian adalah salah satu poin yang harus digarisbawahi, bahwa fenomena kematian dan kehidupan sama-sama membentuk rangkaian sistem dalam penciptaan. Kita bisa menyaksikan bahwa kematian sebagian mempersiapkan kehidupan yang lain. Jasad-jasad yang mati tidaklah terbujur tanpa manfaat. Ia akan memunculkan tetumbuhan atau makhluk hidup yang baru. Dari selubung yang terpecah itu keluar mutiara yang bersinar, kemudian dari benda dan materi yang sama tercipta selubung baru yang menumbuhkan mutiara yang lain lagi.
Pecahnya selubung dan keluarnya mutiara tersebut terjadilah pengulangan tanpa henti dan dengan cara ini pula melimpahkan rahmat kehidupan yang berlangsung sepanjang zaman. Sekiranya manusia yang hidup sebelum 1000 tahun yang lalu tidak mati niscaya benih kehidupan tidak akan sampai pada manusia yang hidup sekarang. Demikian pula sekiranya manusia yang hidup sekarang ini terus hidup, kemungkinan adanya manusia yang lain pada masa mendatang akan berkurang. Sekiranya bunga-bunga yang tumbuh sejak tahun lalu tidak layu sampai sekarang ini saya bunga baru dan segar yang tumbuh di tahun ini tidak akan muncul. Dengan demikian suatu materi dari segi ruang menerima kehidupan pada kondisi yang terbatas. Sedangkan kondisionalitasnya dari segi waktu tidaklah terbatas. Kalau bunga tahun lalu tidak layu dan mati untaian bunga segar tahun ini tak berpeluang untuk mekar.
Ranah material alam memiliki kapasitas yang terbatas dari sudut pandang dimensi ruang, tapi ia memiliki keluasan dimensi waktu yang tiada habisnya. Menarik untuk dicatat bahwa sebagaimana materi alam raya ini terus merentang secara ruang dan waktu tapi rancangan dimensi waktu dalam eksistensi ini jauh lebih besar daripada rentangan dimensi ruang.
Sekalipun termasuk orang yang berkeberatan terhadap kematian Omar Khayam pernah menyebutkan butir pikiran yang menjawab keberatannya sendiri, katanya:
Manakala seseorang menderita, sungguh ia akan merdeka
manakala tetesan terpenjara dalam kerang, jadilah ia mutiara
manakala harta tidak kekal selamanya, hidup bertahan seterusnya
piala yang kini kosong esok akan penuh kembali
tak perlu kita khawatir dengan piala yang sudah kosong, karena penuang akan memenuhinya kembali.
Dia juga mengatakan:
Bangkitlah dan jangan bersedih. karena alam akan terus berlalu
gunakan kesempatan-kesempatanmu untuk kebahagiaan
sekiranya tabiat alam ini adalah memenuhi angan-angan niscaya giliran keberuntungan tidak akan sampai dari selainmu, untukmu.
Penyair ini menilai keadaan ini dari sudut tidak terpenuhinya angan-angan dan ketidaksetiaan dunia. Memang bila ukurannya hanyalah orang yang hidup sekarang, ada begitu banyak angan-angan yang harus dibuang dan ketidaksetiaan dunia. Tetapi bila kita memperhitungkan manusia-manusia lain yang akan datang untuk memainkan peranan mereka, setiap ketidaksetiaan itu akan segera berubah menjadi kesetiaan, keadilan, dan pemberian kesempatan yang setara.
Barangkali seseorang akan menyela dengan mengajukan keberatan berikut, “kalau memang kekuasaan Allah itu tidak terbatas, faktor apakah yang menghalangi makhluk-makhluk yang akan ada sekarang itu untuk terus hidup dan pada saat yang sama tetap tersedia ruang dan makanan bagi mereka yang akan datang?.”
Penyela itu tidak mengetahui bahwa segala sesuatu yang memiliki keinginan untuk mewujud sudah Allah wujudkan dan sudah Allah ciptakan. Adapun yang tidak berwujud hal itu tidak lain karena memang tidak ada kemungkinan baginya untuk mewujud. Pengandaian adanya ruang-ruang dan lingkungan-lingkungan lain yang memadai dengan asumsi adanya kemungkinan untuk itu bagi perwujudan makhluk-makhluk lain tidak menjawab keberatan yang mereka ajukan. Keberlangsungan maujud-maujud yang sekarang akan menutup pintu kemungkinan hadirnya makhluk-makhluk lain pada masa mendatang.
Bahwa materi alam melalui proses alami dan gerakan trans-substansialnya atau (harakah jawhariyyah) akan memunculkan mutiara-mutiara yang bercabang dari ruh yang imaterial. Ruh membebaskan diri dari materi dan pindah kepada kehidupan lebih sublim dan lebih kuat. Adapun materi akan diisi oleh ruh lain untuk pematangan. Di dalam tataran seperti ini yang ada hanyalah penyempurnaan dan perluasan kehidupan. Perluasan dan perentangan ini terjadi melalui perpindahan transmutasi dan transubstansi.
Keberatan terhadap kematian dengan mengumpamakannya bagai pemecahan piala oleh pembuatnya sendiri, dan harapan agar Sumber Wujud dan Pengatur alam bisa mengambil pelajaran berharga dari pembuat piala itu adalah pemikiran kekanak-kanakan yang tidak cocok untuk dikaji secara serius. Pemikiran-pemikiran demikian hanya cocok untuk penyair yang mau bermain-main dengan nuansa dan merajut fantasi indah yang nilainya terbatas pada bidang kesusastraan semata. Ada dugaan kuat bahwa maksud syair yang dinisbatkan kepada Omar Khayam ini adalah seperti itu atau lahir dari pemikiran materialistis yang sempit dan dangkal.
Sedangkan dalam pandangan yang mengatakan kalian akan mati sebagaimana kalian tidur dan kalian akan dibangkitkan sebagaimana kalian terbangun dari tidur, semua kemuskilan di atas dengan mudah akan teratasi. Orang seperti ini bukan saja tidak takut mati melainkan seperti Imam Ali as justru merindukannya dan memandang kematian sebagai keberuntungan dan bahkan kemenangan, ketika Imam Ali ditebas pedang (oleh Ibn Muljam) beliau berkata, “demi pemilik Ka’bah sungguh beruntungnya aku.”
Sedangkan Suhrawardi dari aliran iluminasionisme Islam mengatakan, “kita tidak akan menilai teosos (hakim) sebagai teosof sebelum ia dengan kehendaknya sendiri sanggup menanggalkan badan dari rumahnya.” Bagi Suhrawardi pengalaman keluar dari tubuh merupakan perkara gampang dan mudah bahkan kebiasaannya. Pernyataan serupa juga dinukil dari Mir Damad seorang filsuf dan pendiri mazhab pemikiran Isfahan. Itulah logika orang-orang yang mengetahui hakikat mutiara yang berada di kedalaman tubuh manusia. Sedangkan orang-orang yang hidup dengan wawasan pemikiran materialistis yang sempit dan dangkal selalu gusar menghadapi kematian karena dalam pandangan mereka kematian adalah ketiadaan.
Mereka begitu tersiksa oleh pertanyaan mengapa tubuh ini -menurut keyakinan mereka tubuh adalah seluruh hakikat manusia- harus hancur sehingga pikiran mengenai kematian telah mendorong mereka untuk memandang alam ini dengan pesimistis. Mereka harus meninjau kembali interpretasi mereka terhadap alam dan kehidupan dan hendaknya mereka mengetahui bahwa kemuskilan-kemuskilan mereka itu diakibatkan oleh pandangan dunia mereka yang keliru.
Demikianlah, penciptaan ini bagaikan suatu perdagangan. Dunia ini adalah pasar untuk memproduksi, menjual, membeli dan mendapatkan keuntungan, serta mengulang siklus itu secara berkesinambungan. Kematian dan kehidupan adalah proses pertukaran yang bertujuan menumbuhkan dan menyempurnakan perdagangan di pasar. Orang yang menolak sistem pertukaran takwini ini berarti gagal memahami hukum dan tujuan alam. Salah seorang penyair mengatakan segala sesuatu yang kau lihat bersumber dari Allah. Jika ada yang hilang darimu janganlah bersedih karena sumbernya tetap abadi.
Syahid Murthada Muthahhari, Keadilan Ilahi
Sumber: Ahlul Bait Indonesia.id