Languages فارسی فارسى درى English اردو Azəri Bahasa Indonesia پښتو français ไทย Türkçe Hausa Kurdî Kiswahili Deutsche РУС Fulfulde Mandingue
Scroll down
Islamologi

Syiah Antara Fitnah Dan Fakta: Syiah Melaknat Sahabat?

2019/11/04

Syiah Antara Fitnah Dan Fakta: Syiah Melaknat Sahabat?

Masalah melaknat Sahabat (dan para istri Nabi SAW) adalah salah satu isu terpanas terkait dengan kaum Syiah. Betulkah Syiah punya tradisi melaknat Sahabat? Bagaimana ceritanya sampai terjadi hal seperti ini?

Memang benar bahwa ada sebagian sangat kecil dari orang Syiah yang sampai sekarang menjadikan pelaknatan kepada Sahabat sebagai simbol kesyiahannya. Dulunya, pelaknatan itu merupakan reaksi (balasan) atas pelaknatan terhadap yang dilakukan oleh para pengikut Muawiyah. Kini, pencercaan tersebut punya alasan lain, yaitu kezaliman yang dilakukan para Sahabat terhadap Ahlulbait Nabi, dalam bentuk perampasan hak kepemimpinan. Logika mereka, sebagian Sahabat adalah orang itu telah mengambil hak imamah / khiIafah dari para imam. Karenanya, menurut mereka sebagian Sahabat pantas dilaknat.

Akan tetapi, logika ini tidak dibenarkan oleh para ulama Syiah sendiri. Wali Faqih atau Pemimpin tertinggi Iran, Ayatullah Ali Khamenéi secara terbuka telah memfatwakan keharaman atas perilaku mencerca atau melaknat sahabat. Bunyi terjemahan teks fatwanya: “Diharamkan menghina / mencerca simbol-simbol [yang diagungkan] saudara-saudara kita kaum Sunni, termasuk istri Nabi. Pengharaman [atas perilaku penghinaan itu] berlaku untuk seluruh istri para Nabi, terrutama istri Nabi Muhammad SAW. Ulama Besar Syiah lrak, Ayatullah Sayid Ali Sistani juga telah mengeluarkan fatwa bahwa perbuatan mencerca sahabat Nabi bertentangan dengan ajaran Ahlulbait.

Jadi, apapun juga pendapat orang Syiah terkait dengan perilaku Sahabat dan istri Nabi, itu tidak bisa menjadi alasan kebolehan pelaknatan terhadap mereka. Mengumpat, mencerca, atau melaknat tidaklah relevan dengan kezaliman mereka terdahulu. Apalagi Sahabat adalah orang-orang yang sangat dihormati dan dimuliakan oleh mayoritas kaum Muslimin. Kata-kata dan perilaku mereka menjadi teladan. Sahabat sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari keyakinan kaum Sunni. Bisa dibayangkan, betapa terusiknya perasaan orang-orang Sunni manakala ada yang mencerca para Sahabat. Di sisi Iain, bila ada oknum -baik orang biasa maupun orang yang mengaku ulama- yang melakukan pencercaan itu, artinya dia sudah melanggar fatwa ulama besar Syiah. Perilaku segelintir oknum tidak bisa digunakan dan dijadikan alasan untuk menyesatkan semua orang Syiah.

Bersikap Kritis Beda dengan Mencerca

Namun demikian, perlu diketahui pula bahwa ada perbedaan doktrin antara kaum Sunni dan Syiah terkait Sahabat Rasulullah. Kaum Sunni meyakini dua doktrin ini:

1. Seluruh Sahabat adalah orang baik dan adil sampai akhir hayatnya. Apapun yang mereka lakukan adalah benar karena Allah sudah meridhoi mereka atas apa yang telah mereka perjuangkan dalam  menegakkan agama Islam.

2. Apapun yang pernah terjadi di antara para Sahabat (permusuhan, pertengkaran, saling membunuh), kita, umat generasi berikutnya, harus diam, tidak usah mengkritisinya.

Sebaliknya, bagi kaum Syiah, doktrin tersebut dipandang mengandung kesalahan. Bagi Syiah, Sahabat adalah manusia biasa, hanya saja mereka memiliki keistimewaan: pernah bertemu dengan Baginda Nabi SAW dan sebagiannya pernah ikut berjuang bersama Nabi dalam menegakkan Islam. Logika yang dipakal kaum Syiah: tidak ada jaminan bahwa hanya karena pernah bertemu dengan Rasul, masuk Islam, serta berjuang bersama Nabi. kemudian seseorang bisa dijamin akan tetap menjadi orang baik sampai akhir hayat.

Syiah memiliki keyakinan bahwa “menjadi orang baik” adalah perjuangan seumur hidup. Bukan hal yang mustahil orang yang awalnya adalah pejuang yang tulus dan ikhlas, tapi seiring dengan perjalanan waktu, dia lalu terlena dan tergelincir untuk melakukan dosa. Analoginya, bisa kita temukan dalam sejarah Indonesia. Ada pejuang kemerdekaan yang dulu mempertaruhkan nyawa untuk meraih kemerdekaan, namun. setelah merdeka, dia mendapat jabatan, lalu menjadi manusia yang korup. Atau, kita temui ada pejuang penentang kezaliman era Orde Baru. setelah berkuasa di era Reformasi malah tergelincir dan melakukan korupsi.

Pendeknya, Syiah tidak setuju dengan doktrin Sunni mengenai adanya jaminan seluruh Sahabat adalah orang baik dan adil sampai akhir hayatnya. Syiah mengakui bahwa sebagian (jumlahnya sangat banyak) sahabat adalah pribadi yang baik dan adil sampai akhir hayat mereka, tapi tidak semuanya. Apakah ketidaksetujuan ini bisa menjadi alasan untuk mengatakan bahwa Syiah sesat?

Memang Sunni punya argumen hadis-hadis dan ayat Alquran untuk mendukung keyakinan itu (bahwa semua Sahabat terjamin kebaikannya sampai akhir hayat). Akan tetapi, Syiah juga punya bantahannya, juga dengan hadis dan ayat Alquran. Bukan di sini tempatnya menganalisis siapa yang benar. Tapi, seandainya (sekali lagi, seandainya) Syiah keliru dalam hal ini, paling-paling Syiah cukup hanya dianggap sebagai kelompok yang salah, bukan sesat apalagi kafir. Bukankah dalam doktrin Sunni pun ‘keimanan terhadap keterjaminan Sahabat sampai akhir hayat’ bukan bagian dari akidah?.

Doktrin Sunni soal semua Sahabat adil tidak diterima oleh kaum Syiah dengan alasan fakta sejarah yang menunjukkan bahwa terjadi pertikaian yang hebat bahkan peperangan yang dahsyat, di antara para Sahabat. Saling cerca di antara mereka sudah terjadi bahkan ketika jenazah Rasulullah masih sedang dikebumikan.

Di zaman pemerintahan Ali bin Abi Thalib, terjadi tiga peperangan yang melibatkan para Sahabat. Pertikaian itu berlanjut hingga pasca wafatnya Ali. Al-Hasan, putera Ali, bertikai dengan Muawiyah bin Abi Sufyan. Lalu, puncaknya, terjadi peristiwa Asyura. Al-Husein (adik dari Al-Hasan) dan keluarganya, dibantai di Karbala oleh Yazid, putra Muawiyah.

Terkait berbagai pertikaian dan saling bunuh itu, Syiah meyakini bahwa sikap kritis harus dipelihara. Harus ditetapkah dan dijelaskan, siapa yang benar dan siapa yang salah di antara mereka. lni bukan masalah menyimpan dendam kesumat, melainkan urusan siapa yang boleh dijadikan teladan bagi umat dan verifikasi hadis. Ketika ada dua hadis saling bertentangan; yang satu diriwayatkan oleh Muawiyah dan yang satunya lagi diriwayatkan oleh Ali, kaum Syiah hanya akan menerima hadis yang diriwayatkan oleh Ali. Ketika ada dua cara pandang yang kontradiktif terkait satu masalah, yang satu pandangan versi Sahabat X, yang kedua pandangan versi Ali, orang Syiah memilih mengambil pandangan Ali.

Nah, apakah pendirian sikap Syiah yang tetap bersikap kritis atas peristiwa sejarah di masa lalu bisa dijadikan sebagai alasan untuk menyebutnya sebagai kelompok sesat? Apakah sikap Syiah yang lebih memilih riwayat dari Ali ketimbang Muawiyah disebut sebagai kesesatan? Bukankah dalam doktrin Sunni pun, sikap diam atas apa yang terjadi di antara para sahabat bukan bagian dari akidah?

Sumber: AhlulBait.Indonesia