Syiah Dan Maknanya [Bag 2]
Kata “syiah” kami bahas secara etimologis dan terminologis: Secara etimologis, syi’ah artinya musyâyi’ah dan mutâbi’ah (pendukung dan pengikut). Sebagaimana yang dikatakan penulis kitab al-Qamus: “Syiah seseorang adalah para pengikut dan pembelanya.” (Qamus al-Lughah, juz 2, hal 246) Makna ini disebutkan dalam al-Qur`an firman Allah: “Dan Sesungguhnya Ibrahim benar‐benar termasuk syi’ah (golongan)nya (Nuh). (lngatlah) ketika ia datang kepada Tuhannya dengan hati yang suci.” (QS: ash-Shaffat 83)
Az-Zamakhsyari dalam kitab tafsirnya (tentang makna Syi’ah) mengatakan: “yaitu yang mengikutinya berdasarkan ushuluddin (dasar-dasar agama) atau yang mengikutinya dengan keteguhan dalam agama dan ketabahan terhadap kaum pendusta.” (Tafsir al-Kasyaf/az-Zamakhsyari, juz 2, hal 483)
Secara terminologis, kata “syi’ah” menjadi –dan populer sebagai– panji khas nan elok bagi para pengikut Ali: mencintai, mendukung dan menolongnya. Karena itu, kata “syi’ah” mempunyai dua arti:
a) Mencintai. Inilah yang merupakan kewajiban islami dan perkara Qur`ani bagi seluruh kaum muslim. Sebagaimana firman Allah: “Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upahpun atas seruanku kecuali kecintaan kepada keluargaku.” (QS asy-Syura (42): 23)
Kami bertanya: Adakah kerabat dekat Rasulullah saw yang melebihi Ali, Fatimah, Hasan dan Husein (as)? Maka kecintaan, mawaddah dan wala’ (kepengikutan) kepada Ahlulbait yang merupakan arti syi’ah adalah diwajibkan secara nash dari al- Qur`an. Al-Baidhawi dalam kitab tafsirnya mengatakan: “Diriwayatkan, ketika ayat itu turun –ayat mawaddah, (Nabi saw) ditanya: “Wahai Rasulullah, siapakah kerabatmu yang kami diwajibkan mencintai mereka?” Beliau menjawab: “Ali, Fatimah, Hasan dan Husein.” (Tafsir al-Baidhawi, juz 5, hal 53, cetakan Dar al-Kutub al-‘Arabiyah al-Kubra, Mesir,tahun 1330 H)
b) Mengikuti dan menuruti Ahlulbait serta berpegang pada sabdasabda dan ajaran-ajaran mereka. Ini juga merupakan kewajiban islami yang telah disampaikan oleh Nabi saw kepada segenap muslimin dan beliau mengharuskan mereka melaksanakan kewajiban itu. Sebagaimana sabda Nabi yang dikenal dengan “Hadits as-Safinah”: “Sesungguhnya perumpamaan Ahlulbaitku bagi kalian laksana bahtera Nuh bagi kaumnya, siapa yang menaikinya akan selamat dan siapa yang tertinggal darinya akan tenggelam.” ( Hadis riwayat al-Hakim dalam al-Mustadrak, juz 3, hal 151. Juga disampaikan oleh al-Khatib dalam kitab tarikhnya, juz 12, hal 91. Diriwayatkan dari Abu Dzar, Anas, Ibn Abbas, Abu Sa’id al-Khudri, Ibn Zubeir dan lain-lain. Demikian ini merujuk pada kitab al-
Ghadir, juz 2, hal 1-3.)
Hadis yang disepakati oleh mazhab-mazhab Islam itu, mengharuskan segenap muslimin agar berpegang pada ucapan dan mengikuti ajaran-ajaran ahlulbait agar mereka selamat dari kesesatan dan penyimpangan. Di sini kami bertanya, adakah dari Ahlulbait orang yang lebih dekat dan lebih berilmu daripada Ali untuk kita pegangi ucapannya dan berjalan atas petunjuk dan ajarannya, sehingga kita selamat dari tenggelam dan kesesatan? Bukankah hadis tersebut terbatas pada Ali, Fatimah dan kedua putra mereka? Jika Nabi saw menyuruh berpegang pada ucapan Ahlulbait, berarti itu sesuatu yang wajib bagi segenap muslimin. Karena ucapan, perbuatan dan penetapan (taqrîr) Nabi adalah hujjah yang wajib bagi seluruh muslimin. Sungguh beliau saw sebagaimana yang difirmankan Allah swt: “Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” QS an-Najm (53): 3-4
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah, dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah.” (QS: al-Hasyr 7)
Berangkat dari hal tersebut, jelaslah poin-poin di bawah ini:
- Diwajibkan merujuk pada pandangan-pandangan fuqaha Ahlulbait as sesuai hadis Nabi di atas, dan tidak ada kewajiban merujuk pada fuqaha lain, karena tidak didukung nash (hadis Nabi). Tidak dibenarkan berbeda pandangan dan bertentangan dengan mereka (Ahlulbait).
- Jika kami mengatakan agar merujuk pada ulama, maka Ahlulbaitlah yang utama. Mereka adalah pribadi-pribadi istimewa sebagaimana bukti-bukti sejarah Ahlulbait atas itu, disertai dukungan sabda Nabi –sebagaimana jelas dalam “Hadits as-Safinah”– yang menekankan untuk berpegang pada pandangan-pandangan mereka.
- Ketika menemukan perbedaan dan perselisihan antara dua pandangan –yakni pandangan seorang faqih Ahlulbait dan pandangan seorang faqih dari golongan lain– maka sesuai syariat dan akal, wajiblah berpegang pada pandangan seorang faqih Ahlulbait. Karena di dalamnya diyakini kebenaran hukum yang ditetapkan dan jauh dari kesesatan, didukung dan ditegaskan oleh sabda Nabi dalam Hadits as-Safinah. Sedangkan melaksanakan pandangan seorang faqih di luar Ahlulbait masih diragukan, benar atau tidak!? Hal ini dikarenakan tidak adanya nash hadis Nabi yang menyinggungnya. Seorang muslim sejati tidak akan meninggalkan “yakin” dan tidak akan mengikuti “syak”. Karena yang dia kehendaki adalah melaksanakan keyakinan dan meninggalkan keraguan.
- Mengapa Rasulullah saw bersabda demikian (dalam Hadits as-Safinah,-penerj) dan apa faedahnya? Apakah Nabi asal bicara – na’udzubillah– ataukah beliau tidak berbicara menurut hawa nafsunya, bahwa: “Dan dia tidak berbicara menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” Ataukah Nabi ingin agar umatnya selamat dari penyimpangan dan kesesatan, maka beliau angkat bicara? Lantas untuk bisa selamat dari kesesatan –sebagaimana ditegaskan oleh Nabi dalam sabdanya– mengapa hadis tersebut tidak diamalkan oleh kebanyakan muslimin, terlebih pada saat mereka berselisih dalam pandangan-pandangan?
- Tidak berpegang pada pandangan fuqaha Ahlulbait, terlebih lagi bertentangan dan berselisih dengannya, itu berarti bersikeras pada penyimpangan dan menetapi kesesatan, sebagaimana telah dinashkan oleh Nabi dalam Hadits as-Safinah itu: “Siapa yang tertinggal darinya akan tenggelam.”
- Berpegang pada pandangan para imam Ahlulbait adalah bukti mawaddah (cinta kepada mereka) yang diwajibkan atas nash al-Qur`an: “Katakanlah, “Aku tidak meminta kepadamu suatu upah pun atas seruanku ini kecuali kecintaan kepada keluargaku.”
Tidak berpegang pada pandangan mereka yang berarti menghindar dan tidak menaruh perhatian kepada mereka adalah semacam ketidakpedulian terhadap hak mereka. Hal ini bertentangan dengan ayat “al-Mawaddah” tersebut (QS: asy-Syura 23) dan berpaling pada kesesatan, sebagaimana yang diterangkan Rasulullah saw dalam hadis as-Safinah.
Sumber: Ahlul Bait Indonesia.Id