Languages فارسی فارسى درى English اردو Azəri Bahasa Indonesia پښتو français ไทย Türkçe Hausa Kurdî Kiswahili Deutsche РУС Fulfulde Mandingue
Scroll down
Berita Dunia

Syiah di Indonesia

2018/04/30

Syiah di Indonesia

Tahun 2016, Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama melaksanakan penelitian tentang perkembangan gerakan Syi’ah di Indonesia. Penelitian dilakukan di Jakarta, Banten (Kota Tangerang), Jawa Barat (Kota Cirebon, Kota Bogor, Kabupaten Garut, Kota Tasikmalaya), Jawa Timur (Kota Surabaya, Kota Malang , Bondowoso, Jember), Jawa Tengah (Kota Semarang , Kabupaten Banyumas, Jepara, Kabupaten Tegal, Kota Pekalongan), Makassar, Palu dan Medan. Hasil penelitian tersebut telah diseminarkan pada tanggal 14 Desember 2016 di Hotel Millenium Sirih, Jakarta, dan diterbitkan dalam sebuah buku berjudul “Dinamika Syiah di Indonesia”.

​Penelitian tersebut adalah penelitian kualitatif, bentuknya studi kasus untuk mendalami, menjelaskan dan mendeskripsikan eksistensi Syiah berkaitan dengan sejarah, kegiatan, lembaga yang dimiliki, struktur organisasi dan sebarannya, serta peran pemerintah daerah.   Dalam pengantar buku “Dinamika Syiah di Indonesia” tersebut, Prof. Abd. Rahman Mas’ud, Ph.D (Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI) menyatakan:

 Dalam konteks Indonesia, perkembangan dan diaspora penganut mazhab Syiah ini tidak dapat dimungkiri telah mengkonstruksi dan menghiasi kehidupan sosial-keagaman di Indonesia. Sehingga, sangat sulit untuk mengatakan bahwa tradisi Islam di Indonesia tidak dipengaruhi oleh tradisi Syiah. Bahkan tradisi dan ritual tersebut diterima dengan baik oleh umat Islam Indonesia yang mayoritas Sunni seperti halnya tradisi perayaan Asyura di Indonesia. Tradisi semacam ini dipraktikan pula oleh warga nahdliyin yang nota bene pengikut mazhab Sunni. Selain itu, Sunni-Syiah sukses mengislamkan nusantara dan membangun masyarakat dengan nilai Islam yang rahmatan lil’alamin. Ini menunjukkan suksesnya koeksistensi Sunni-Syiah di Indonesia.   Berdasarkan realitas itulah, Gus Dur pernah menyatakan bahwa NU adalah Syiah tanpa imamah. Ungkapan Gus Dur tentu saja tidak berlebihan sebab Sunni dan Syiah tidak berbeda kecuali dalam hal imamah. Gus Dur sangat memahami begitu tipisnya perbedaan NU dan Syiah dikarenakan kesamaan dalam meyakini Allah, al-Quran, nabi, kiblat, shalat, haji, dan seterusnya.   Faktanya, buku hasil penelitian ini berhasil memotret dengan baik bahwa relasi komunitas Syiah dengan komunitas lainnya (Sunni) berlangsung sangat baik di seluruh wilayah penelitian, terkecuali di Makassar dan Bondowoso dengan adanya sedikit ketegangan di sana. Dengan demikian, dari hasil penelitian ini diharapkan muncul kesadaran umat Islam untuk menghormati dan melindungi saudara sesama Muslim yang berbeda mazhab sebagaimana dijamin UUD 1945.

​​Secara keseluruhan, data penelitian membuktikan bahwa semua tudingan/tuduhan terhadap Syiah terjadi akibat kesalahpahaman, perbuatan bohong karena kebencian, ketidakpahaman atau kurang membaca tulisan terkait Syiah dari sumber-sumber  utama yang diakui di kalangan Syiah.  Sebagian tuduhan juga muncul karena ketidakmampuan membedakan mana ajaran Syiah dan mana perilaku sebagian penganut Syiah yang tidak merepresentasikan ajaran Syiah secara umum (seperti yang dilakukan sekelompok orang yang disebut Syiah Takfiri atau Syiah Sempalan).

Terkait berbagai tuduhan terhadap Syiah, semua tuduhan tersebut adalah framing dan propaganda anti Syi’ah untuk mendelegitimasi Syiah. Tuduhan negatif terhadap Syiah adalah tidak relevan. Generalisasi Syiah sebagai Rafidhah jelas tidak sesuai realitas dan fakta yang sesungguhnya. Semua tuduhan yang terus diproduksi dan disebarkan (oleh kelompok anti-Syiah) telah mendapat klarifikasi dan bantahan tegas dari kalangan Syiah.

Berbagai bentuk framing dalam aktivisme anti-Syiah dapat dikelompokkan ke dalam tiga aspek: religius, sosial, dan politik. Inti framing anti-Syiah adalah bahwa: pertama, Syi’isme adalah aliran sesat dan menyesatkan; kedua, karena Indonesia dianggap sebagai bumi Sunni, kehadiran Syiah menjadi sumber konflik; ketiga, Syiah merupakan ancaman terhadap NKRI. Berbagai bentuk framing tersebut TIDAK terbukti dalam realitas di lapangan.

Hasil penelitian tersebut mengungkap beberapa temuan yang kemudian dirumuskan menjadi kesimpulan dan rekomendasi hasil penelitian. Temuan lapangan tersebut (sekali lagi) membuktikan tidak benarnya berbagai tuduhan dan membantah berbagai tudingan yang dialamatkan kepada Syiah selama ini oleh kalangan anti-Syiah.

Tuduhan bahwa Syiah berbahaya bagi Sunni dan NKRI tidaklah relevan dan justru terbukti sebaliknya. IJABI menegaskan komitmen kebangsaannya seperti tertuang dalam Deklarasi Pancasila (baca: https://www.majulah-ijabi.org/ijabikita/deklarasi-pancasila-ijabi). Pernyataan resmi yang ditunjukkan oleh IJABI dan ABI membuktikan kuatnya komitmen keislaman dan kebangsaan Muslim Syiah di Indonesia. “Melalui kedua organisasi tersebut, komunitas Syiah memproyeksikan dirinya sebagai bagian dari masyarakat Muslim dan sekaligus warga bangsa Indonesia dan NKRI dan berperan aktif dalam membangun masyarakat dan menjaga keutuhan NKRI”, demikian kesimpulan Prof. Dr. Zulkifli, MA dalam Prolog buku tersebut di atas.

Dalam hal relasi komunitas Syiah dengan Sunni, di seluruh daerah umumnya berjalan baik, bahkan  beberapa daerah tertentu terdapat kerjasama dan saling membantu dalam kegiatan. Dalam kehidupan sehari-hari, antara umat Muslim Syiah dan Sunni tetap berjalan dalam batas kewajaran, bahkan para pengikut Syiah seringkali melakukan shalat berjamaah bersama kaum Sunni. Penganut Syiah dapat hidup rukun di berbagai daerah karena pengikut Syiah sangat membaur dengan masyarakat Sunni. Bahkan komunitas Syiah tidak membangun masjid sendiri, dan memilih berbaur dengan masjid masyarakat sekitarnya.

Komunitas maupun warga pengikut Syiah harus terus menjaga dan meningkatkan hubungan baik dengan masyarakat sekitar dan elemen masyarakat lain serta menjauhkan sikap-sikap eksklusif yang akan berdampak pada terjadinya gap dan prasangka terhadap keberadaan mereka di lingkungan masyarakat.

Sesungguhnya keberadaan komunitas Syiah tidak dirasakan sebagai gangguan bagi umat lain. Masyarakat sekitar pun tidak ada yang merasa terganggu dengan keberadaan kelompok Syiah itu. Justru setelah terbit surat edaran dari pemerintah lokal (seperti misalnya Surat Edaran Walikota Bogor tentang pelarangan peringatan Asyura) telah menyebabkan pro-kontra yang berujung terjadinya disharmoni di dalam masyarakat.

Relasi pemerintah dengan komunitas Syiah juga cukup baik di berbagai daerah. Sedangkan daerah yang relasinya masih kurang baik umumnya karena belum (atau kurangnya) silaturrahim. Oleh karena itu, komunikasi dan silaturrahim harus dibangun. Pada berbagai event yang diadakan komunitas Syiah, juga turut dihadiri unsur pemerintah dan tokoh Sunni.

Kekerasan yang terjadi terhadap komunitas Muslim Syiah adalah salah alamat. Seluruhnya berangkat dari kesalahpahaman, generalisasi yang tidak tepat, dan mengeneralisir semua Syiah dalam satu sebutan. Apalagi objek penyesatan Syiah itu dijelaskan kalangan anti Syiah, yang secara ilmiah tidak berhak.

Terlepas dari aktivisme anti-Syiah yang digerakkan oleh kelompok kecil tersebut di atas dan proses saling pengakuan masih menjadi dambaan, sesungguhnya relasi Sunni Syiah di Indonesia secara umum berlangsung harmonis. Demikian temuan penting penelitian yang tertuang dalam buku tersebut.

Selain temuan dan kesimpulan tersebut, penelitian juga merekomendasikan beberapa hal, antara lain:

Kalangan anti Syiah sebaiknya berhenti menjelaskan tentang mazhab Syiah karena penjelasan mereka tidak sesuai dengan mainstream yang dianut Syiah di Indonesia, bahkan menimbulkan ketidakjelasan, dan menjerumuskan umat Islam untuk membenci Syiah dan menimbulkan konflik dengan Syiah. Kalangan anti Syiah sebaiknya berhenti melakukan propaganda dan menggantinya dengan melakukan tabayun dan klarifikasi kepada akademisi Syiah agar tidak terjadi prasangka dan umat tidak menjadi korban.

Menggambarkan pandangan dan sikap keagamaan Syiah harus merujuk kepada penganut Syiah sendiri terutama melalui pemimpin dan ulamanya yang otoritatif atau melalui organisasi resminya, yakni IJABI dan ABI. Memahami dan menerima pandangan dan sikap tersebut harus dengan sikap terbuka dan jujur sehingga dapat melahirkan dialog dan kerja sama. Kecurigaan dengan alasan Syiah bertaqiyah sebagaimana terjadi pada aktivis anti-Syiah telah menutup peluang untuk memahami dan menerima eksistensi Syiah secara jujur dan terbuka tetapi menganggapnya sebagai ancaman yang menakutkan.

Ada beberapa paham dalam Syiah yang berbeda dengan Sunni. Namun, walaupun   berbeda, para ulama masih menganggap bahwa Syiah adalah bagian dari Islam.

Komunitas Sunni Syiah itu bersaudara. Biarkanlah umat Islam memilih mazhab yang disukai, tidak jamannya memaksakan kehendak. Apalagi ada jaminan konstitusi. Indonesia telah membangun teologi kerukunan, mempunyai Bhinneka Tunggal Ika, dan berbagai kesepakatan internasional tentang persaudaraan Sunni Syiah.

Hendaknya kalangan non Syiah (MUI dan anti Syiah) dapat melakukan dialog, saling klarifikasi, tentang berbagai kesalahpahaman yang terjadi selama ini. Seyogyanya MUI memelopori pendekatan mazhab dan dialog untuk saling berklarifikasi berkaitan kesalahpahaman yang sudah lama terjadi dan belum ada penjelasan obyektif. Dialog Sunni-Syiah perlu dilakukan dalam dimensi akademik, serta kampanye damai antar mazhab dan aliran

Umat Islam harus mulai memahami mengapa Sunni dan Syiah dibenturkan di seluruh dunia, yang berakibat kehancuran negara-negara tersebut. Sebab faktanya umat Islam umumnya gagal melihat fenomena dan rekayasa global agar umat Islam sibuk urusan domestiknya dan tidak memikirkan kemajuannya sebagai bangsa.

Umat Islam harus paham betapa kapitalisme internasional dan zionisme sangat senang dengan konflik-konflik sektarian di kalangan umat Islam (Sunni dan Syiah) dan kehancuran negara-negara mayoritas muslim, seperti Irak, Suriah, Libya, Yaman, Afghanistan, dan lain-lain.

Pejabat pemerintah, tokoh agama, dan ormas keagamaan hendaknya mulai membuka diri dengan melakukan dialog dan diskusi yang melibatkan orang-orang Syiah, agar mereka saling mengenal dan saling memahami. Pemerintah perlu memfasilitasi dialog di antara dua kelompok yang masih berseberangan, dialog yang berusaha untuk saling memahami bukan dialog yang bersifat debat kusir.

Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama, sebaiknya mendorong upaya dialog Syiah dan Sunni dengan tetap mengedepankan sikap santun dan semangat persaudaraan antar sesama umat Islam, serta tidak mengklaim kebenaran individu dengan menafikan pendapat kelompok lain.

Pemerintah daerah sebaiknya lebih berhati-hati dalam mengeluarkan kebijakan dan peraturan terkait keagamaan mengingat dampak dan potensinya terhadap harmoni dan kerukunan yang telah terjalin baik di masyarakat.

Para tokoh agama dan ormas Islam dalam melakukan dakwah agar tidak memunculkan provokasi kepada pihak yang berbeda paham, agar suasana rukun dan damai yang sudah terbangun dapat lebih ditingkatkan. Pendekatan musyawarah dan dialog sebaiknya lebih dikedepankan dalam setiap penyelesaian masalah-masalah keagamaan dibanding dengan pendekatan mobilisasi massa yang berpotensi terjadinya kekerasan.

Selain integrasi dalam bentuk ritual dan tradisi kesalehan ‘Alawi, terjadi dialog dan kerja sama antara kelompok Syiah dan Sunni yang tergabung dalam organisasi Islam seperti NU, Muhamadiyah, dan Al-Washliyah. Demikian juga dialog dan kerja sama terjalin antara lembaga-lembaga pendikan Islam Syiah dan Sunni. Pemerintah dan ulama dituntut untuk berperan aktif dalam memfasilitasi dan memastikan berlangsungnya dialog dan kerja sama tersebut. Interaksi yang harmonis tersebut menggambarkan wajah ramah Islam Nusantara yang moderat dan menjunjung tinggi prinsip Rahmatan lil Alamin.

*) Resume ini dibuat oleh PP IJABI dengan merujuk pada (dan bersumber dari):

1. Presentasi dan Makalah Seminar “Penelitian Gerakan Syiah di Indonesia”, oleh Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, di Hotel Millenium Sirih, Jakarta pada tanggal 14 Desember 2016.

2. Buku “Dinamika Syiah di Indonesia”, Editor Ubaidillah. Tim Penulis: Wakhid Sugiyarto, dkk. Diterbitkan oleh Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan, tahun 2017.

[Sumber: Situs IJABI]