Languages فارسی فارسى درى English اردو Azəri Bahasa Indonesia پښتو français ไทย Türkçe Hausa Kurdî Kiswahili Deutsche РУС Fulfulde Mandingue
Scroll down
Renungan

Ustadz Kapitalisme dan Kejahatan Agama

2016/05/17

Ustadz Kapitalisme dan Kejahatan Agama

Agak menggelikan juga ketika melihat seorang ustadz di televisi jadi bintang iklan. Gelisah juga ketika kita melihat training agama yang marak dengan biaya tinggi, belum lagi berbagai salon, supermarket klinik kesehatan, acara televisi yang menggunakan islam sebagai label. Menjadikan umat sebagai objek riset. Islam menjadi agama yang diperjual belikan peran agama sebagai penegak keadilan dan kekuatan yang melawan kewenang-wenangan jadi lenyap.

Kini agama berada dalam komplotan yang memyembunyikan firman sesuai dengan kehendak pasar. Agama dijadikan sebagai produk untuk meraut laba semata. Sekali tampil para ustadz paling sedikit dibayar Rp 5 juta. Dakwah riang, konyol dan tak segan-segan membawa bahasa gaul seperti anak muda jaman sekarang siapa lagi kalau bukan ustadz selebritis. Mereka adalah lapisan kelas sosial yang dibesarkan dan tumbuh dalam asuhan media.

Di televisi para ustadz ini seolah ingin memberikan tentang bagaimana agama itu diperankan dan bahkan mereka membawa agama keruang politik pragmatis dengan mendukung salah satu bakal calon yang membayarnya dengan mahal, agama diperjual belikan dalam ajang politik pragmatis tanpa harus memikirkan dampak buruk yang ditimbulkan terhadap peradaban umat yang mendengarnya. Kita kehilangan para ustadz yang cerdas tajam dan revolusioner sejak itu agama dihidupkan dengan api, tapi asap kemegahan yang sesungguhnya palsu dan menjebak.

Bandingkan dengan sejumlah ustadz yang kini hilir mudik di televisi. Mereka selalu saja kurang nyaman jika tidak memiliki mobil dengan harga miliaran, rumah yang besar dan pakaian dengan harga jutaan dan bahkan puluha juta. Tampilan yang seperti itu supaya pasar tidak melihatnya ketinggalan jaman. Dan bahkan ada suatu hari di Makassar saya melihat teman saya mempromosikan bisnis seorang ustadz dengan membuka klinik kesehatan dan membawa-bawa nama Islam. Bisnis ini dikelola dengan cara umum namun hanya saja ada islam dilabel obat, dan alat kesehatan lainnya. Harga produk maupun pemasarannya sama dengan bisnis yang lain. Namun karena memakai nama islam maka ummat berusaha untuk meyakinkan kalau ini beda.

Menggunakan islam dengan untuk jadi produk dengan mengobral simbol adalah praktek umum dalam kapitalisme pasar, sokongan atas itu semua dimudahkan melalui iklan yang dijajakan hampir setiap hari penuh melalui televisi maupun Koran dan majalah-majalah. Memang kita tentu tak mau ustadz kita terkena wabah busung lapar, tetapi itu bukan berarti kita memperkenangkan mereka hidup bermewah-mewahan.

Ulama kita terjerembab dalam budaya kapitalisme yang bersandar pada bagaimana nilai citra lebih ditonjolkan ketimbang nilai guna. Komodifikasi menjadi iklim yang marak belakangan dan karenanya petuah-petuah kesederhanaan hidup seolah-olah kosong tanpa makna. Karena petuah kosong itu dibunyikan oleh ulama dzalim yang suka memupuk-mupuk kekayaan.

Ketika kesederhanaan telah tenggelam, maka persis sebagaimana yang menjadi sinyal agama, tanggung jawab sosial dan solidaritas menjadi lemah. Efek dari itu semua adalah telah menelurkan kelompok ummat yang punya tabiat: pertama, melihat agama sekedar sebagai model simbolik yang diamalkan melalui kegiatan dan penghayatan individual. Kedua, penghayatan atas islam terpusat pada apa yang di omongkan dan diceramahkan oleh alim ulama televisi ketimbal praktek sosial keseharian. Ketiga, mulai melakukan klasifikasi atas ummat dalam berbagai golonga dan ketegori sebagaimana pasar menempatkan dan memperlakukan produk. Saluran kesadaran keagamaan semacam ini diperoleh tidak melalui pergulatan yang dalam dan susah payah melainkan kesempatan maupun peluang yang diberikan oleh pasar sekaligus kekuasaan.

Bagi para ustadz dengan wajah kapitalisme menganggap bahwa agama menjadi saranan untuk memuluskan dan mempercepat proses akumulasi modal. Bukan lagi seperti yang dikatakan marx bahwa agama itu candu. Disini agama kemudian jadi alat produksi yang tidak hanya dimanfaatkan untuk meraup laba, melainkan juga digunakan dalam proses ekspansi kapital. Karena, memikat pasar. Imam ali pernah berkata dengan nada lembutnya:

Para ahli agama yang paling bijak ialah mereka yang tidak membuat orang berputus asa akan rahmat atau kehilangan harapan akan santunan dan kasih sayingNya tetapi juga tidak membuat orang terus menerus merasa aman dari pembalasan-Nya.

Itu yang membuat kita kemudian mendefinisikan melakukan dakwah dengan ajaran agama islam yang sebenarnya tanpa meraup laba semata. kenikmatan akan kita dapatkan balasannya atas apa yang pernah kita lakukan, kebaikan akan dibalas dengan kebaikan dan keburukan akan dibalas dengan keburukan. Dan jangan jadikan islam sebagai produk untuk mendapatkan keuntungan semata tapi jadikan islam sabagai agama yang mampu mebuat peradaban manusia menjadi lebih bijak dan baik.

Dengan melihat islam di Indonesia yang berangsut-angsur kehilangan naluri sebagai gerakan sosial artinya gerakan yang mempertautkan proses evlolusi masyarakat dan tertikam oleh ambisi politik yang dalam prakteknya banyak mengalami kegagalan akibat hegemoni kapitalisme. Andai keadaan terus seperti sekarang ini, adalah benar apa yang dikatakan Marx: Agama itu hanya candu, betul sekali ucapan Rasulullah SAW: kelak islam hanya seperti buih, banyak pengikutnya tapi tidak ada mutu.

Penulis: Iwansyah (Pemerhati Agama)

[Sumber: Satu Islam]