Di Saudi, Kaum Wahabi Sudah Moderat, di Indonesia Sebaliknya
Sumanto Al-Qurtuby, profesor dari Universitas Al-Fahd Arab Saudi pernah menulis istilah ‘Wahabi KW’ (KW : Bukan Kualitas Asli) dan ‘Wahabi ori’ (Original) dalam sebuah tulisan di akun Facebooknya, yang kemudian istilah tersebut menjadi populer di media sosial. Sumanto adalah warga Negera Indonesia, sudah tiga tahun lebih dia mengajar di Universitas Al Fahd Arab Saudi.
Sumanto merasa jengah dengan perilaku sebagian komunitas Islam di Indonesia yang mencoba mencitrakan diri sebagai orang-orang Wahabi, seperti layaknya penganut Wahabi di Arab Saudi. Mereka berpakaian seperti orang-orang Arab Saudi, memelihara jenggot panjang atau memakai cadar bagi yang perempuan. Tidak sebatas itu, mereka juga merasa bahwa beragama seperti merekalah yang paling benar. Dengan mudah mereka menyesatkan atau mengkafirkan orang lain ketika berbeda dengan dirinya. Mereka juga memandang kemodernan sebagai sesuatu yang buruk.
Menurut Sumanto hal-hal seperti itu tidak dia lihat di Arab Saudi, yang merupakan penganut Wahabi asli. Justru di sana sedang terjadi gelombang perubahan, baik pemahaman keagamaan, budaya dan gaya hidup.
Menurut Sumanto, di Arab Saudi saat ini telah terjadi perubahan yang sangat fundamental. Sudah semakin banyak orang-orang moderat, bahkan liberal yang memahami berjenggot atau memakai jubah sebatas tradisi dan gaya hidup. Bukan lagi atas dasar alasan mengikuti sunah nabi atau alasan agama lainnya.
Pada awal Agustus lalu Sumanto datang ke Indonesia dan memberikan ceramahnya di Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP).Usai memberikan ceramahnya Warsa Tarsono dari Madina online mewawancarainya. Berikut hasil wawancaranya yang digabung dengan materi ceramahnya.
Melalui akun Facebook, Anda sering mengkritisi fenomena keberagamaan sebagian kelompok di Indonesia yang mencoba meniru-niru keberagamaan orang-orang di Saudi Arabia, apa yang ingin Anda sampaikan?
Saya prihatin dengan maraknya kelompok-kelompok keislaman di Indonesia yang sok kearab-araban atau kewahabi-wahabian, yang saya sebut di dalam tulisan-tulisan saya di Facebook sebagai Wahabi KW.
Saya mengistilahkan Wahabi KW untuk membedakan dengan Wahabi ori, yaitu teman-teman saya di Saudi yang Wahabinya itu benar-benar asli.
Sejak lebih dari tiga tahun saya di Saudi, saya melihat ada satu perubahan yang sangat fundamental di sana. Tetapi anehnya beberapa kelompok Islam di Indonesia justru mencoba meniru-niru orang-orang Saudi. Mereka mencitrakan diri sebagai kelompok salafi dan Wahabi, padahal tidak pas dan tidak nyambung.
Di Saudi sendiri banyak hal yang sudah ditinggalkan, tapi justru para Wahabi KW di sini melakukan hal-hal yang sudah ditinggalkan oleh orang-orang di Saudi, oleh orang-orang Wahabi.
Murid-murid saya 99 persen Wahabi, jadi saya mengerti karakter mereka seperti apa. Ada yang liberal, moderat, konservatif dan walaupun tetap ada yang ekstrim. Ada Wahabi moderat yang misalnya menjadi salafi. Dia tidak mau mendengarkan musik, tidak mau melihat film. Tapi itu hanya untuk dirinya sendiri saja. Dia tidak memaksa orang lain untuk melakukan apa yang dia lakukan. Fanatismenya sifatnya ke dalam. Teman-teman Wahabi saya banyak yang punya prinsip seperti itu.
Misalnya masalah janggot. Banyak teman-teman Wahabi yang mengatakan, “Saya berjanggot tapi saya tidak memaksakan orang lain untuk berjanggot seperti saya. Biarin saja, mereka mau berjenggot kek mau tidak kek, mau dipotong tipis-tipis kek. Saya berjanggut seperti ini hanya untuk saya sendiri.”
Saya pernah melakukan survei kecil-kecilan terhadap mahasiswa saya yang berjenggot. Saya tanya apa alasan mereka berjenggot? Jawabannya beragam, dan tidak semua karena faktor keagamaan. Ada yang beralasan karena kalau tidak berjenggot merasa jelek dan lain sebagainya. Merekapun menyesuaikan panjang dan bentuk jenggotnya dengan bentuk mukanya.
Jadi di sana, masalah berjenggot tidak semuanya karena alasan untuk mengikuti sunah nabi atau alasan-alasan keagamaan, keislaman. Ini berbeda dengan beberapa kalangan Islam di Indonesia, masalah jenggot saja fanatiknya minta ampun.
Ada contoh yang lain?
Contoh yang lain dalam hal pakaian. Dalam hal pakaian di Saudi juga telah terjadi revolusi yang luar biasa. Mungkin hanya sekitar 10 persen murid-murid saya yang pakai gamis, selebihnya pakai celana training, celana panjang, atau bahkan celana boxer sebatas lutut. Dan itu bukan hanya dipakai di kelas; bahkan saat sembahyangpun mereka pakai celana selutut. Laki-laki kanauratnya cuma sampai lutut saja.
Saat ini di Saudi yang ketat memakai jubah itu hanya orang-orang tua, atau mereka yang berada di pelosok-pelosok. Anak mudanya sudah trendy banget, sudah mengikuti perkembangan mode.
Orang yang memakai jubah pun saya tanya, apa alasan mereka memakai jubah? Jawabannya tidak ada satu pun yang menjawab memakai jubah dalam rangka untuk mengikuti sunah nabi. Mereka bilang loh memangnya pakaian nabi 15 abad yang lalu itu seperti apa? Sudah tidak dirpoduksi lagi sekarang. Jadi mereka menganggap memakai jubah itu bukan sunah nabi, ini hanya pakaian saja.
Menariknya ada beberapa murid saya yang berkata kepada saya, “Itu orang-orang di Malaysia, di Indonesia banyak yang berjubah meniru-niru kami mau ngapain sih? Ini budaya kami, ini tradisi kami, tidak ada hubungannya dengan sunah nabi.”
Jadi Anda melihat keberagamaan di Arab Saudi itu sebenarnya beragam?
Yang kadang-kadang salah tangkap oleh masyarakat luar adalah menganggap Saudi itu sebagai komunitas tunggal. Semuanya pendukung Wahabi ekstrim, padahal tidak sama sekali. Di Saudi banyak faksi, banyak kelompok, dan banyak pertentangan.
Saudi itu secara geografi berbeda-beda.Dan letak geografi itu sangat menentukan pola pikir, kebudayaan, tradisi dan sebagainya. Sama seperti di Indonesia.
Wahabi esktrim itu memang sangat keras. Mereka ada di Saudi bagian Tengah seperti Provinsi Al-Qosim yang dulu dikenal sebagai tempat lahirnya Wahabisme. Kelompok-kelompok ekstrim biasanya lahir dari daerah ini.
Selain orang-orang itu, Saudi sebenarnya sangat terbuka dengan kemodernan, terbuka terhadap perubahan dan sebagainya. Itu yang saya rasakan dan saya alami. Karena itu mengkaji Saudi itu harus betul-betul detail. Seperti saya katakan, kita harus juga mempelajari letak georafi mereka.
Saudi di bagian Utara yang berbatasan dengan Jordan, itu sangat berbeda karakter budaya dan tradisinya dengan Saudi di bagian Timur.
Saya ini berada di Saudi di bagian Timur. Di Saudi bagian Timur ini telah mengalami proses pembaratan yang luar biasa. Di sana banyak orang Eropa dan Amerika. Saudi Timur ini adalah provinsi Assyarqiyah. Di provinsi ini, Amerika sangat berperan dalam melakukan modernisasi Saudi. Bahkan bisa dikatakan kemodernan Saudi diciptakan dari sini.
Di sini terdapat pabrik minyak terbesar di dunia Aramco, yang juga menjadi tempat kampus saya. Letak kampus saya berdampingan dengan Aramco. Kampus saya ini dibuat oleh Amerika dan Inggris dalam rangka membantu Arab Saudi melakukan modernisasi.
Yang saya tangkap di Indonesia itu seperti yang saya ceritakan tadi, mereka kurang bisa membaca perubahan-perubahan yang ada di Arab Saudi. Baik sosial, kegamaan dan sebagainya-sebagainya.
Kita jangan mudah terhipnotis oleh apa-apa yang ada di Saudi. Apa yang tidak tampak biasanya itu yang lebih menarik. Mungkin teman-teman di sini menganggap setiap adzan warung-warung, toko-toko di sana semua tutup. Iya tutup depannya, tapi belakangnya tetap buka. Kita perlu kejelian melihat hal-hal seperti itu.
Ada pertanyaan menarik, kenapa sampai sekarang Bahrain itu dibiarkan sekuler dan liberal? Tahu jawabannya? Bahrain itu seperti Bogornya orang Jakarta, kalau ingin apa-apa larinya ke sana. Yang haram di Saudi menjadi “halal” di sana. Karena itu setiap akhir pekan jalan ke Bahrain itu macet total, persis seperti kalau mau ke Puncak.
Orang kan pada dasarnya sama butuh hiburan, meskipun pakaiannya tertutup dia tetap butuh hiburan. Tapi bukan berarti semua yang ke Bahrain itu niatnya untuk yang buruk-buruk. Sebagian sekadar refreshing, misalnya nonton film.
Yang mengalami proses perubahan yang luar biasa bukan hanya Saudi, tapi Arab secara umum. Orang di sana sudah bosan dengan apa yang mereka lihat. Padang pasir lagi, onta lagi. Tidak ada pemandangan yang menarik.
Makanya jangan heran, mereka kalau liburan ke tempat-tempat seperti Hawai, Prancis dan lain sebagainya. Jadi setiap musim haji, orang-orang datang ke Mekah, ke Madinah sementara mereka ke Prancis, Hawai dan lain sebagainya.
Orang-orang di sana sudah kebarat-baratan. Tapi anehnya orang-orang Indonesia malah kesaudi-saudian. Ini kan jadinya kebalik-balik.
Sejak kapan sebenarnya perubahan di Saudi ini terjadi dan meliputi aspek-aspek apa saja?
Perubahan besar-besaran terjadi ya sejak sejak ditemukan lading-ladang minyak. Dengan penemuan minyak terjadi pembangunan yang besar-besaran. Pemerintah dan masyarakat Saudi mulai membuka orang-orang luar untuk masuk. Di Saudi sekitar 30 persen masyarakatnya adalah kaum pendatang dari berbagai negara terutama India, Pakistan, Banglades dan Filipina.
Di daerah saya tinggal, banyak sekali orang-orang Filipina sampai ada istilah Manila kecil. Karena memang di sana tempat orang-orang Filipina bermukim. Mereka membuat toko sendiri, membuka barber shop sendiri dan macam-macam lainnya.
Yang menarik dari orang-orang Filipina ini adalah banyak bencongnya. Menurut saya memang Saudi adalah tempat yang sangat aman untuk kelompok biseksual. Makanya banyak kelompok-kelompok biseksual di kawasan Arab, bukan hanya Saudi. Kenapa? Karena di sana aman sekali. Peraturan larangan berduaan kan hanya untuk bukan muhrim, kalau untuk sesama lelaki atau sesama perempuan tidak ada larangan.
Kalau chek in ke hotel akan ditanyakan mana iqomah-nya. Iqomah itu kalau di sini KTP. Mereka bertanya iqomah untuk mengetahui istri orang yang mau chek in itu. Kalau yang chek in perempuan masa ditanyakan mana istrinya?
Jadi perubahan di Saudi saya kira bagian dari konsekuensi logis dari industrialisasi dan modernisasi di sana yang sudah berkembang sejak 1970-an, ketika ladang-ladang minyak ditemukan. Ketika terjadi booming ladang minyak, Saudi membutuhkan banyak tenaga kerja asing. Masuknya orang secara otomatis berarti masuknya budaya.
Perubahan budaya tersebut sebenarnya tidak disikapi secara frontal oleh masyarakat di sana. Yang sering marah-marah itu kan Wahabi-Wahabi ekstrim. Wahabi ekstrim itu maksudnya ulama-ulamanya. Selain mereka itu enggak ada, termasuk raja-rajanya.
Raja Fahd itu liberal sekali. Dia sangat American minded. Barang-barang dan perlengkapan di kampus saya hampir semua menggunakan pruduk Amerika. Komputer harus Dell, software-software-nya harus Microsoft. Dan semuanya harus asli, karena kalau tidak asli haram hukumnya.
Jadi selain perubahan dalam konteks pembangunan dan modernisasi, perubahan di Arab Saudi juga terkait perubahan budaya dan gaya hidup. Termasuk juga perubahan tentang peran perempuan.
Ide emansipasi wanita sebenarnya sudah lama sekali, sejak Raja Fahd, bahkan sejak Raja Faisal. Sejak Raja Faisal sudah terjadi proses revolusi bahwa perempuan itu harus mendapatkan peran dalam hal-hal yang sifatnya publik, maka didirikanlah kampus-kampus khusus perempuan.
Pada masa Raja Abdullah, perempuan mendapat peran yang lebih luas lagi. Mereka diberikan hak untuk memilih dalam pemilu. Mereka juga diberikan kesempatan untuk duduk dalam dewan syuro, dewan yang bertugas memberi nasihat kepada raja terkait kebijakan-kebijakan politik pemerintah Saudi.
Terkait gagasan perempuan boleh menyetir mobil, sebenarnya itu sudah lama. Cuma untuknyeneng-nyenengi Wahabi-Wahabi ekstrim, kemudian ditunda, sampai beberapa kali. Meskipun sebenarnya kalau diberi kesempatan nyetir mereka enggak berani juga. Gawat sekali nyetir di Saudi, mereka semrawut, enggak mau di atur. 30 persen kematian di Saudi karena tabrakan kendaraan.
Kenapa Raja dan pemerintah Saudi sangat mengakomodir suara ulama-ulama Wahabi itu?
Mereka butuh legitimasi. Yang kedua adalah bagian dari perjanjian antara keluarga As-Saud dengan keluarga Muhammad bin Abul Wahab pendiri Wahabi.
Saudi itu didirikan oleh dua konsorsium yaitu faksi agama dan faksi politik. Faksi politiknya adalah Muhammad bin Saud, yang kemudian menjadi raja, dan faksi agama di bawah Muhammad bin Abdul Wahab, yang kemudian menjadi pengawal agama. Jadi itu konsekuensi logis dari perjanjian tersebut.
Anda katakan Saudi saat ini sudah mengalami perubahan yang sangat fundamental dalam berbagai aspek, termasuk gaya hidup. Tapi kenapa orang-orang Indonesia yang kuliah di sana seolah tidak melihat perubahan-perubahan itu, dan mereka datang justru dengan membawa gagasan-gagasan Islam yang ekslusif, tidak toleran, merasa benar sendiri dan lain sebagainya. Kenapa itu terjadi?
Orang-orang Indonesia yang kuliah di Saudi kebanyakan mengambil kajian-kajian di bidang keislaman, khususnya kajian hadits atau usuludiin. Karena mereka belajar di fakultas-fakultas ini, sudah pasti pulangnya menjadi Islam tiang listrik yang tegak lurus ke atas, tidak bisa belak belok.
Bisa dimaklumi karena di sana buku-buku kajian tentang Islam betul-betul dibatasi. Mereka tidak boleh membaca buku-buku di luar yang mereka tentukan. Ada semacam indoktrinasi bahwa yang boleh dibacaitu adalah buku karya-karya atau pemikiran tokoh-tokoh tertentu.
Di Saudi, di kampus-kampusnya biasanya ada perpustakaan-perpustakaan yang tidak boleh diakses oleh oleh mahasiswanya, melainkan hanya bisa diakses oleh dosen. Karena saya dosen, saya bebas mengaksesnya. Dari situ saya tahu apa-apa saja yang dilarang, subjek-subjek apa saja yang dilarang, pemikir-pemikir siapa saja yang dilarang. Yang sudah kita tahu misalnya adalah buku-buku sufisme.
Dengan kondisi seperti itu bisa dimaklumi kenapa mereka kemudian menjadi ekslusif, tidak toleran dan merasa benar sendiri, contohnya seperti Ustad Firanda yang dikenal oleh Jemaah Indonesia karena salah satu tugasnya memang mengajar orang-orang Indonesia yang umroh.
Ustad Firanda ini berasal dari Universitas Islam Madinah, universitas tertua di Saudi, didirikan tahun 1961. Kampus itu didirikan dalam rangka membendung pemikiran Jamal Abdul Nasir dari Mesir, yang saat itu ingin menjadikan nasionalisme arab, anti terhadap sistem monarki.
Pada saat itu Jamal Abdul Nasir mengusir semua aktivis Ikhwanul Muslimin dari Mesir.Yang menampung mereka adalah Arab Saudi. Para aktivis dan pemikir itu kemudian direkrut untuk mendirikan Universitas Islam Madinah.
Salah satu tokoh yang terlibat dalam pendirian Universitas Islam Madinah tersebut adalah Syeh Abdul Muhsin Al-Abbad. Syeh Abdul Muhsin Al-Abbad ini punya murid namanya Syeh Abdul Rozak. Nah Syeh Abdul Rozak ini punya murid namanya Firanda.
Karena hubungan guru murid ini Firanda diberi kesempatan untuk ceramah di masjid Nabawi. Dia kemudian diberi tugas untuk mengajar orang-orang Indonesia yang umroh. Dia ini yang menanamkan kepada jemaah haji Indonesia untuk jangan mengunjungi kuburan Nabi Muhammad.
Terkait Syiah, bagaimana sih hubungan Sunni–Syiah di sana?
Dalam konteks Saudi, kalau ada yang anti terhadap Syiah, memusuhi Syiah pelakunya adalah teroris, atau kelompok ekstrim yang sifatnya individu. Tidak pernah ada kelompok seperti Front Pembela Islam (FPI) yang datang dengan membawa pentungan, mengkafirkan dan mengusir-ngusir Syiah. Kalau ada kelompok seperti itu pasti dibubarkan. Makanya di Saudi tidak ada kekerasan komunal, kekerasan massa seperti yang dilakukan seperti FPI atau kelompok lainnya di Indonesia.
Di Saudi kelompok seperti itu akan menjadi musuh Negara. Pemerintahan di sana tidak mau kerajaannya menjadi tidak stabil, negaranya menjadi kacau. Kekacauan sosial itu akan membahayakan status quo, akan membahayakan pemerintahan Saudi.
Saat Raja Abdullah berkuasa, pernah diadakan dialog nasional Sunni–Syiah. Tokoh-tokoh Sunni–Syiah diundang disuruh bersatu. Raja Abdullah sendiri yang memprakarsai dialog Sunni–Syiah tersebut. Raja Abdullah juga membebaskan orang-orang Syiah dari tahanan yang ditahan karena sebuah kerusuhan.
Tidak hanya itu, Raja Abdullah juga memberikan akses kepada orang-orang Syiah untuk bekerja di banyak bidang pekerjaan. Memang Raja Abdullah dikenal sangat moderat, karena itu banyak orang Syiah suka terhadap Raja Abdullah. Tokoh-tokoh Syiah sangat mengapresiasi Raja Abdullah.
Ada suara bahwa fenomena gerakan anti Syiah di Indonesia itu didanai oleh Arab Saudi, apakah menurut Anda ini benar?
Soal kampanye anti Syiah, saya melihat itu sebetulnya oknum-oknum dari kelompok-kelompok yang saya sebut Wahabi ekstrim itu. Merekalah yang berusaha melakukan perluasan sentimen anti Syiah ke berbagai negara. Tapi bahwa itu menjadi sebuah keputusan pemerintah saya berani jamin tidak.
Saudi memang berkepentingan dengan Iran, dengan Bahrain, dengan Emirat dengan Kuwait, Yaman, dan Suriah, karena memang itu dalam lingkaran geografi geopolitik Saudi. Tetapi tidak punya kepentingan dengan Indonesia yang jauhnya minta ampun, tidak ngefek sama sekali.
Jadi menurut saya, kalaupun itu ada, itu dilakukan oleh kelompok-kelompok yang saya sebut kelompok Wahabi dan Salafi ekstrim. Kemudian kampanye tersebut disebarluaskan oleh Wahabi-Wahabi KW yang ada di Indonesia.
Saya percaya itu bukan dari politik pemerintahan, tapi semata-mata dari kelompok tertentu, gerakan-gerakan tertentu yang didorong untuk melakukan gerakan anti Syiah.
Kalau itu dilakukan oleh pemerintah, kenapa tidak Syiah di sana saja yang lebih dulu diberantas. Kenapa harus jauh-jauh ke Indonesia. Syiah di Saudi ada sekitar 15 sampai 20 persen.
Saya kira begitu. Tapi bahwa mungkin tesis saya keliru, bisa saja. Saya sampai sekarang masih belum melihat bahwa gerakan anti Syiah yang ada di Indonesia saat ini bagian dari politik global pemerintah Saudi. Tapi lebih kepada kelompok-kelompok Wahabi KW yang ada di sini.
[Sumber: ISNU]